Wabah Covid-19 telah memperjelas pentingnya jaringan telekomunikasi/internet sebagai infrastruktur digital bagi aktifitas ekonomi & sosial di ranah online. Sebelumnya, roadmap e-commerce Indonesia dan analis global menyatakan bahwa nilai e-commerce Indonesia di 2025 diprediksi akan melampaui angka $133 milyar (sekitar 2000 trilliun rupiah).

Kegiatan ekonomi sebesar itu bisa terjadi karena tersedianya infrastruktur jaringan telekomunikasi/internet. Andaikan semua adalah transaksi produksi, betapa kemajuan ekonomi Indonesia akan melesat cepat. Infrastruktur digital ini pun telah memberikan banyak manfaat sosial-budaya dan pengembangan Iptek yang sangat besar, diuraikan panjang lebar pada bab pertama. Inilah prestasi utama Regulator telekomunikasi dan internet Indonesia.

Kegiatan ekonomi, sosial-budaya, dan pengembangan Iptek secara online di atas jaringan telekomunikasi/internet terus meningkat semakin massive dan inclusive, merambah makin banyak penduduk dan makin luas wilayah. Peningkatan kapasitas, kualitas, dan jangkauan (coverage) di semua sentra kegiatan ekonomi menjadi kebutuhan nasional yang mendesak. Termasuk pula di wilayah-wilayah yang secara komersial tidak menguntungkan atau tidak layak investasi,

Pemerintah perlu menyediakan akses komunikasi/internet untuk pemberdayaan rakyat dan pemerataan kesempatan melalui pemanfaatan teknologi TIK.

Maka, Pemerintah perlu terus mengupayakan kebijakan dan regulasi yang mendorong peningkatan kapasitas, kualitas, dan jangkauan (coverage) infrastruktur digital Indonesia.

Dengan UU 36/1999, infrastruktur digital yang vital ini dibangun sepenuhnya oleh Swasta dan BUMN, dengan skema komersial berdasar informasi peluang berusaha dari Pemerintah. Maka dapat dimaklumi bahwa wilayah-wilayah layak komersial lah yang dibangun berdasar mekanisme pasar.

Wilayah-wilayah yang selain itu, di dalam undang-undang disebut sebagai wilayah USO, yakni wilayah yang secara ekonomi tidak menguntungkan. Pembangunan jaringan telekomunikasi/internetnya dilakukan melalui mekanisme kontribusi USO. Dengan kebijakan pengaturan mengundang Swasta dan BUMN ini, Pemerintah tidak menggunakan APBN untuk membangun infrastruktur digital yang sangat mahal. Sehingga lazimnya Regulator menerapkan kebijakan insentif sebagai daya tarik bagi para investor/operator.

Saat ini, dalam rangka transformasi digital dan pemulihan ekonomi nasional, negara memerlukan infrastruktur digital yang lebih kuat (kapasitas dan kualitas) dan lebih merata (coverage/penetrasi). Di saat yang sama, industri telekomunikasi sedang tidak sehat, kemampuan investasi menurun, berdampak menurunnya kelincahan untuk menambah kapasitas, kualitas, dan coverage. APBN pun masih defisit dan di
dalam UU 36 tahun 1999 memang tidak terdapat amanah penggunaan APBN untuk infrastruktur telekomunikasi/internet.

Dalam situasi ini, tugas Regulator/Pemerintah adalah menerbitkan kebijakan yang menolong industri agar menjadi mampu lagi melakukan investasi menambah kapasitas, kualitas, dan coverage jaringan. Dengan penambahan kapasitas, kualitas, dan coverage, industri berpeluang untuk menjadi sehat, dan negara dapat memperoleh manfaat dari tergelarnya infrastruktur bagi transformasi digital dan pemulihan ekonomi nasional.

Kebijakan yang realistis dan amat logis diluncurkan di saat ini adalah mengurangi beban industri atau mentransformasi beban menjadi manfaat bersama. Beban tetap tahunan yang terberat bagi penyelenggara jaringan seluler adalah pungutan PNBP dari biaya penggunaan spektrum frekuensi radio. Besarnya hingga belasan persen dari gross revenue semua operator kecuali satu saja yang masih sehat.

Beban ini setiap tahun semakin membesar, padahal revenue operator mendatar bahkan cenderung menurun; dijelaskan pada bab-2, bab-3, dan bab-4. Landasan menimbangnya diuraikan pada bab-5, dan jika diperlukan benchmark, dijelaskan di bab-6.

Dari semua itu, didapatkan tiga opsi kebijakan sebagai berikut :

  1. BHP Spektrum Tetap untuk Lebih Menjamin Kepastian Usaha/Investasi
  2. BHP Spektrum yang Adaptif dengan Perkembangan Industri
  3. BHP Spektrum Frekuensi Progresif mengharmoni Kepentingan Nasional

Gambaran dan simulasi dalam angka dari ketiga opsi di atas disajikan pada bab-7. Dari pengalaman kompromi kepentingan, urutan opsi dari yang memiliki kemungkinan paling dekat dengan Regulator adalah sebagai berikut:

  1. Opsi pertama, yaitu kebijakan tarif tidak naik (tetap selama masa laku izin).
  2. Opsi ketiga, yaitu kebijakan penurunan tarif disertai dengan komitmen.
  3. Opsi kedua, yaitu kebijakan penurunan tarif (saja/tanpa komitmen).

Sedangkan urutan opsi dari yang paling mungkin bisa menyehatkan industri adalah sebagai berikut :

  1. Opsi kedua, yaitu kebijakan penurunan tarif (saja/tanpa komitmen)
  2. Opsi ketiga, yaitu kebijakan penurunan tarif disertai dengan komitmen.
  3. Opsi pertama, yaitu kebijakan tarif tidak naik (tetap selama masa laku izin)

Berdasarkan dua situasi di atas, jalan tengah yang berpotensi memberikan manfaat terbesar adalah opsi ketiga, yaitu penurunan tarif disertai dengan komitmen. Opsi ini baik bagi operator karena operator memerlukan peningkatan kapasitas, kualitas, dan coverage; dan sangat baik bagi Pemerintah/Regulator karena infrastruktur vital untuk ekonomi dan transformasi digital akan dapat meningkat lebih cepat.

Selain dari pemikiran di atas, negara perlu segera seksekusi sumber penerimaan baru dari penyedia Apps & OTT yang telah mengambil-alih dominasi layanan, dan menguasai hampir semua fungsi di semua sektor. Peran penyelenggara jaringan telekomunikasi hanyalah sebagai penghubung (connectivity). Revenue dan valuasi pasar amat tidak sebanding. Saatnya Regulator/Pemerintah menerapkan kebijakan baru yang menciptakan equilibrium antara penyelenggara jaringan dan penyedia Apps/OTT.

Fullscreen Mode