Meski industri telekomunikasi dipercaya sebagai enabler bagi berbagai pertumbuhan industri lainnya, serta mampu menjadi kontributor penting bagi Produk Domestik Bruto (PDB), namun hingga saat ini, kebijakan pungutan negara justru semakin agresif, baik atas penyelenggaraan telekomunikasi maupun atas infrastrukturnya.

Kondisi di atas tentu menjadi paradoksal dengan keinginan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, mandiri, dan berdaya saing tinggi melalui pemanfaatan TIK, sebagaimana dituangkan dalam visi Renstra Kementerian Kominfo Tahun 2015-2019.

Banyaknya pungutan negara dapat mempengaruhi produktivitas industri telekomunikasi sehingga akan melemahkan daya saing industri ini. Tidak terlalu mengherankan jika pertumbuhan industri telekomunikasi – khususnya telekomunikasi selular relatif stagnan bahkan cenderung melambat, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDB maupun dari kinerja keuangan perusahaan telekomunikasi.

Data statistik menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2014 terjadi penurunan laba/rugi perusahaan telekomunikasi selular sebesar 45,33 persen. Selain itu, Return on Assets (RoA) yang merupakan salah satu indikator penting dalam mencerminkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba juga terus mengalami penurunan. Pada tahun 2014 hanya PT Telekomunikasi Indonesia yang mengalami peningkatan nilai RoA.

Saat ini regulatory charges atas industri telekomunikasi sangat beragam, baik jenis maupun tarif serta otoritas pemungutnya dan menimbulkan beban pungutan berganda vertikal dan horisontal. Banyaknya pungutan ini menimbulkan costs  yang pada akhirnya dapat mendistorsi perkembangan industri telekomunikasi. Untuk itu diperlukan kebijakan yang dapat memberikan ‘ruang’ yang lebih luas atau memberikan keleluasaan bagi dunia usaha untuk meningkatkan produksinya yang sejalan dengan konsepsi Supply-side Tax Policy tanpa mengorbankan kepentingan negara untuk memperoleh fair revenue.

Mengacu pada berbagai teori public policy yang ada, akar masalah pungutan PNBP dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu a) akar masalah yang berkaitan dengan content kebijakan, dan 2) akar masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan. Akar masalah PNBP jika dilihat dari policy content analysis, melingkupi elemen-elemen hukum material PNBP, yaitu 1) obyek PNBP, 2) dasar pengenaan, dan 3) tarif.

Dari perspektif teori public policy, akar masalah implementasi bersumber pada: a) Implementing regulation, karena UU PNBP Tahun 1997 belum mempunyai undang-undang ketentuan umum dan tata cara pemungutan PNBP yang komprehensif dan terintegrasi.  b) Resources, di mana PNBP yang menjadi andalan Kementerian Kominfo berasal dari PNBP yang menganut sistem official assessment, sementara baik secara kuantitatif maupun kualitatif, jumlah Sumber Daya Manusia di Kementerian Kominfo yang mempunyai kompetensi PNBP masih sangat terbatas. c) Communication sebagai akibat dari komunikasi politik pungutan negara, maupun komunikasi antar lembaga, dan  d) Social, Economic and Political Condition karena adanya fiscal gap dan defisit anggaran mengeskalasi tuntutan baik dari sisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun pemerintah, agar Kementerian Kominfo menaikkan target penerimaan PNBP.

 

Fullscreen Mode